Setelah menikmati
perjalanan di lautan atau living on board selama empat hari tiga malam,
akhirnya Selasa 3 Mei 2016 saya dan teman teman sampai juga di Labuan Bajo.
Walaupun sudah ada di daratan badan masih bergoyang - goyang seperti saat di
kapal. Setelah menunggu sekitar setengah jam akhirnya di jemput oleh pihak
rental yang akan menemani menjelajahi daratan Flores. Tujuan pertama penjelajahan
adalah Desa Wae Rebo, Desa yang mendapat penghargaan tertinggi dari UNESCO
yaitu penghargaan konservasi warisan budaya. Ternyata perjalanan ke Wae Rebo
tidaklah mudah, jalan yang kecil, rusak, dan sangat berkelok - kelok menjadi
santapan renyah ketika di dalam mobil elf. Setelah perjalanan kurang lebih dua
belas jam, akhirnya sampai juga di penginapan untuk istirahat sejenak sebelum
besok melanjutkan perjalanan ke Desa Wae Rebo. Nama penginapannya adalah Wae
Rebo Lodge, terletak di Dintor, Daerah terdekat sebelum menuju ke Desa Wae
Rebo. Pemilik penginapan ini ada bapak Martinus Anggo, warga asli Wae Rebo yang
sekaligus menjadi pemandu untuk tamu - tamu yang ingin menuju Wae Rebo. Konsep
penginapan juga bagus, jika kamu bangun pagi - pagi, kamu akan di sajikan
pemandangan khas di tengah sawah yang sangat indah sekali.
Wae Rebo Lodge, Dintor (@ahmadrizalq) |
Rabu, 4 Mei 2016, Bangun
pagi, saya dan teman - teman segera mandi dan bergegas untuk sarapan sembari
menikmati udara pagi di sekitar penginapan. Setelah semua beres, semua
berpamitan kepada pak Martinus untuk melanjutkan perjalan ke Desa Wae Rebo.
Perjalanan di lanjutkan dengan berjalan kaki membelah rimbunnya hutan. Saya dan
teman - teman di pandu oleh dua pemandu penduduk asli Wae Rebo yang merupakan
teman pak Martinus. Sepanjang perjalan mata akan di sajikan pemandangan yang
indah. Ternyata medan perjalanan cukup menguras tenaga bagi orang - orang yang
jarang mendaki gunung seperti saya. Keringat yang bercucuran tidak menurunkan
niat saya untuk sampai di Desa Wae Rebo. Terkadang saya bertegur sapa dan
ngobrol sebentar dengan pengunjung yang sudah lanjut usia tetapi masih memiliki
jiwa petualangan yang sangat besar. Hal tersebut yang membuat saya semakin
lebih bersemangat untuk segera sampai di Desa Wae Rebo.
Pemandangan Sepanjang Perjalanan (@ahmadrizalq) |
Setelah perjalanan yang
penuh perjuangan dan memakan waktu kurang lebih selama tiga jam, akhirnya
sampai juga di pintu masuk Desa Wae Rebo. Singgah sebentar di gubug kecil, dari
gubug tersebut bisa melihat desa Wae Rebo dari atas dan di gubug tersebut
pemandu wajib membunyikan kentongan sebagai tanda ada tamu yang akan datang.
Sebelumnya pemandu juga memberi arahan ketika sudah sampai langsung menuju
rumah ketua adat desa Wae Rebo untuk upacara penyambutan dan sangat dilarang
melakukan aktifitas seperti berfoto - foto atau interaksi dengan masyarakat
sekitar sebelum upacara penyambutan, tujuannya adalah untuk menghormati para
leluhur. Akhirnya setelah jalan dua ratus meter dari gubug tadi sampai juga di
Desa Wae Rebo. Rasa lelah terbayar dengan suasana dan keindahan yang ada di
desa ini. Desa Wae Rebo di kelilingi pegunungan dan terdapat rumah adat yang
bernama Mbaru Niang berjumlah tujuh bangunan di tambah satu rumah khusus untuk
tamu. Setelah sampai di rumah kepala suku upacara penyambutanpun dimulai. Saya
dan teman - teman diwakili oleh bapak yang menjadi pemandu. Sejujurnya saya
tidak mengerti apa yang diucapkan keduanya, tetepi pada intinya meminta ijin
untuk mengujungi Wae Rebo kepada kepala suku dan kepala suku menjadi perantara
untuk menyampaikan kepada leluhur. Masyarakat Wae Rebo ini sangat menghormati
dan menjunjung tinggi nilai nilai dari para lelulur sampai saat ini.
Setelah upacara selesai, saya dan teman - teman di persilahkan menuju ke rumah tamu untuk menaruh barang, istirahat, dan makan siang. Menu makan disini yang selalu membuat spesial adalah sambelnya, entah kenapa sambelnya beda dari sambel - sambel yang lain, pedesnya bikin nagih. Selain itu saya mencoba berinteraksi dengan penduduk sekitar. Selain pendapatan dari para pengunjung, ternyata pendapatan utama penduduk dari penjualan kopi dan kain cura. Kopi yang sering dijual ke orang - orang adalah jenis kopi arabika, sedangkan kain cura adalah kerajinan tenun yang di buat oleh ibu - ibu memiliki warna cerah dan biasanya dijual ke wisatawan yang datang ke Wae Rebo. Anak - anak di Wae Rebo juga sangat terbiasa dengan wisatawan yang datang. Mereka langsung mudah bercanda dan bermain bersama para wisatawan yang datang ke Wae Rebo. Ketika malam datang, ternyata banyak pengunjung yang datang dan membuat rumah tamu menjadi penuh yang membuat mau tidak mau harus berbagi tempat istirahat supaya bisa masuk semua. Fasilitas listrik di Wae Rebo sangat terbatas, hanya ada dari jam enam sore sampai jam sepuluh malam, jadi bersiap – siap lah untuk mengisi baterai kamera ketika listrik menyala. Malam itu seharusnya ada kegiatan menikmati kesenian khas desa Wae Rebo, tetapi karena pengunjung yang sangat banyak, untuk sementara acara tersebut di tiadakan. Jadi ya malam itu di habiskan dengan duduk – duduk di luar Mbaru Niang sembari melihat bintang – bintang yang bersinar di kegelapan. Setelah puas dan badan mulai merasa mengantuk para pengunjung bergegas memasuki rumah tamu untuk beristirahat.
Setelah upacara selesai, saya dan teman - teman di persilahkan menuju ke rumah tamu untuk menaruh barang, istirahat, dan makan siang. Menu makan disini yang selalu membuat spesial adalah sambelnya, entah kenapa sambelnya beda dari sambel - sambel yang lain, pedesnya bikin nagih. Selain itu saya mencoba berinteraksi dengan penduduk sekitar. Selain pendapatan dari para pengunjung, ternyata pendapatan utama penduduk dari penjualan kopi dan kain cura. Kopi yang sering dijual ke orang - orang adalah jenis kopi arabika, sedangkan kain cura adalah kerajinan tenun yang di buat oleh ibu - ibu memiliki warna cerah dan biasanya dijual ke wisatawan yang datang ke Wae Rebo. Anak - anak di Wae Rebo juga sangat terbiasa dengan wisatawan yang datang. Mereka langsung mudah bercanda dan bermain bersama para wisatawan yang datang ke Wae Rebo. Ketika malam datang, ternyata banyak pengunjung yang datang dan membuat rumah tamu menjadi penuh yang membuat mau tidak mau harus berbagi tempat istirahat supaya bisa masuk semua. Fasilitas listrik di Wae Rebo sangat terbatas, hanya ada dari jam enam sore sampai jam sepuluh malam, jadi bersiap – siap lah untuk mengisi baterai kamera ketika listrik menyala. Malam itu seharusnya ada kegiatan menikmati kesenian khas desa Wae Rebo, tetapi karena pengunjung yang sangat banyak, untuk sementara acara tersebut di tiadakan. Jadi ya malam itu di habiskan dengan duduk – duduk di luar Mbaru Niang sembari melihat bintang – bintang yang bersinar di kegelapan. Setelah puas dan badan mulai merasa mengantuk para pengunjung bergegas memasuki rumah tamu untuk beristirahat.
Kamis 5 Mei 2016, tepat
jam lima pagi saya dan teman – teman sudah siap untuk kembali ke Dintor karena
harus segera melanjutkan perjalanan menjelajahi daratan flores. Terimakasih
sudah membaca sedikit cerita dari saya. Sampai jumpa di cerita – cerita
berikutnya.
No comments:
Post a Comment